Merantau Is My Life
Semenjak gue
ditanya tentang cita-cita gue sama bokapnya Fitri tempo hari, gue jadi bingung
sendiri mikirin arah masa depan gue ini. Apa yang harus gue lakuin nanti dan kemana arah tujuan hidup gue
berjalan. Kenapa sih gue baru mikirin sekarang.
Kenapa ya gue gak kayak anak
TK seperti dulu, yang dengan semangatnya ketika ditanya oleh para guru tentang apa cita-cita kita para murid, gue dengan tanggap menjawab apa yang gue
inginkan. Sedangkan gue sekarang, anak SMP yang
sebentar lagi lulus, gak
tau apa yang gue inginkan kelak. Saat ini
dalam benakan gue, bahwa apa yang mesti gue lakuin adalah kembali menempuh jalan hidup yang pernah gue
alamin dulu. Merantau.
Bokap gue asli
Betawi, sedangkan nyokap gue asli Minang. Singkat
cerita mereka bertemu di Jakarta, enggak lama
pacaran terus mereka married. Sejak gue
lahir sampai kelas tiga SD gue tinggal
di Jakarta. Tepatnya kita sekeluarga numpang hidup di rumah
nenek.
Karena alasan ingin mencari suasana baru, nyokap
ngajak bokap
pindah ke Batam. Rencana pindah ini langsung ketahuan
sama bibi
gue (gue manggil dia ‘Aci’) yang tinggal
di padang sama anduang
gue (anduang nenek
dalam bahasa Minang), makanya Aci gue minta gue untuk
tinggal saja di Padang.
Alasan Aci
minta gue tinggal disana, pertama karena saat itu Aci gue belum menikah.
Kedua karena anduang sudah terlalu tua, sehingga kehadiran gue nantinya bisa
menghibur mereka berdua. Dengan berbagai rayuan akhirnya gue mau juga tinggal
di Padang. Pada saat itu, yang hadir
dalam benak gue kalau gue bakalan jauh
sama orang tua dan kehidupan gue akan lebih bebas lagi. Selang beberapa bulan gue tinggal di Padang, anduang
ninggalin gue yang nakal ini untuk
selama-lamanya. Tak lama dari itu Aci menikah dengan seorang pria
yang belum sempat dikenalkan ke Anduang.
Merasa kesepian
gue minta ke nyokap
untuk pindah lagi ke Batam. Namun karena
alasan waktu, gue
belum bisa meneruskan sekolah di Batam. Sebenarnya sih sebagai warga negara
yang tinggal di negara yang serba menuhankan KKN seperti negara kita ini, gue
bisa aja nerusin sekolah di Batam. Yang jadi
masalah, gue bukan golongan orang yang menuhankan KKN. Alasannya karena
keluarga gue bukan berasal dari keluarga berada. Bokap sama nyokap cuman jadi
buruh di Batam, mana mungkin gue maksain sekolah di Batam dengan uang sogokan
yang gak
murah.
Beruntung gue
masih punya keluarga yang baik hati seperti pak le’ dan pak de’
gue di Yogya. Mereka mau nanggung biaya hidup gue disana. Gue pun harus
merantau lagi selama setahun di tanah keraton. Pasti lo semua pada bingung
kenapa gue sampai punya paman di Yogya. Gue tekanin sekali lagi,
ini dia misteri hidup yang tak pernah tersangka-sangka. Mereka berdua itu
saudara kandung bokap gue. Walaupun asli Betawi,
mereka berdua menikah dengan orang Jawa.
Sampai lulus SD
gue menempuh hidup sendirian yang gak mulus. Susah
payah penuh dengan ujian hidup gua lalui, terlebih gue semakin jauh dari kedua orang tua.
Dari kecil gue
udah sering merantau. Jakarta, Padang, Yogya dan
Batam sudah seperti
rumah
gue. Di empat
kota ini sudah banyak menyimpan ribuan memori hidup yang gak
akan pernah gue lupain. Dan selama itu pula gue
jarang mendapatkan kasih sayang orang tua langsung. Hanya kiriman uang yang tak
begitu banyak yang bisa gue rasain.
Tiga tahun di Batam
membuat gue jenuh dengan lika-likunya yang tak pernah usai. Perkataan bokapnya
Fitri terus mengiang-ngiang di telinga gue. Mana mungkin gue bisa dapetin Fitri
kalau masa depan gue belum jelas seperti ini. Selama ini gue hanya mengikuti
arus permainan alam yang terus terombang ambing yang gak
pernah mau untuk berontak. Gak pernah
sedikitpun terlintas di pikiran gue
perihal masa depan. Hari ini urusan sekarang, esok hari entahlah besok seperti apa. Gue gak
pernah membuat planning
kedepannya. Perantauan gue pun gak pernah gue
rencanain, semuanya berjalan sesuai arus waktu yang membawa gue.
Percuma gue
nentuin arus hidup kalau pada akhirnya gak pernah gue
rasain. Makanya hidup gue gak perlu diarahkan
dengan cita-cita. Saat kita tersesat dalam kegelapan ya itulah kita di dalam
kegelapan itu, disaat kita di dalam kesenangan yaitulah kita didalam kesenangan
itu. Gak
pernah keluar untuk mencari atau sekedar merasakan kecerahan di balik
kegelapan. Namun pertanyaan bokapnya Fitri seperti telak dalam hidup gue. Gue
gak
pernah mau nentuin masa depan, tepatnya gue terlalu takut untuk melakukan hal
itu. Takut akan mimpi dan cita-cita.
Gue rasa mimpi
atau cita cita itu perlu yang namanya modal.
Percaya atau enggak, ini doktrin yang gue pikirin
sendiri. Seorang anak yang bercita cita menjadi seorang dokter
akan terwujud cita citanya jika latar belakang anak itu termasuk orang kaya
atau mungkin diantara keluarga si anak itu udah ada yang berhasil menjadi dokter.
Tapi kalau latar belakang anak itu terlahir sebagai orang miskin yang
perkerjaan kedua orang tuanya sebagai petani serabutan bahkan tak ada
seorangpun dalam kelurganya yang berhasil menjadi dokter. Maka anak itu hanya
seorang pemimpi belaka! Bagaimana mungkin seorang anak petani miskin bisa menjadi
dokter?!
Makanya gue gak
pernah memikirkan cita-cita. Karena gue nyadar diri, gue itu bukan berasal dari keluarga yang berada. Gue hanya
seorang anak buruh yang gak punya modal
untuk bermimpi. Mimpi itu indah bagi mereka yang punya modal dan hanya samar-samar
bagi gue yang gak
punya modal untuk bermimpi.
Wajar aja kalau
Fitri
punya mimpi untuk meneruskan kuliah ke ITB. Dia udah mempunyai modal banyak.
Peringkat pertama di kelas dan latar belakang ekonomi menengah ke atas sudah
cukup bagi dia sebagai modal mimpinya. Yang terpenting dalam hidup gue bukan
mimpi, tapi arus hidup yang nyaman tanpa hambatan sebagai apa yang menjadi pengharapan
dalam hidup ini. Inilah
gue dan ini cara pandang hidup gue di masa SMP!
Bersambung....
No comments:
Post a Comment