Bahasa dan Sastra Arab

Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Saturday, 20 January 2018

Si Rama-Rama (2)


Merantau Is My Life


           Semenjak gue ditanya tentang cita-cita gue sama bokapnya Fitri tempo hari, gue jadi bingung sendiri mikirin arah masa depan gue ini. Apa yang harus gue lakuin nanti dan kemana arah tujuan hidup gue berjalan. Kenapa sih gue baru mikirin sekarang. Kenapa ya gue gak kayak anak TK seperti dulu, yang dengan semangatnya ketika ditanya oleh para guru tentang apa cita-cita kita para murid, gue dengan tanggap menjawab apa yang gue inginkan. Sedangkan gue sekarang, anak SMP yang sebentar lagi lulus, gak tau apa yang gue inginkan kelak. Saat ini dalam benakan gue, bahwa apa yang mesti gue lakuin adalah kembali menempuh jalan hidup yang pernah gue alamin dulu. Merantau.

Bokap gue asli Betawi, sedangkan nyokap gue asli Minang. Singkat cerita mereka bertemu di Jakarta, enggak lama pacaran terus mereka married. Sejak gue lahir sampai kelas tiga SD  gue tinggal di Jakarta. Tepatnya kita sekeluarga numpang hidup di rumah nenek. Karena alasan ingin mencari suasana baru, nyokap ngajak bokap pindah ke Batam. Rencana pindah ini langsung ketahuan sama bibi gue (gue manggil dia ‘Aci) yang tinggal di padang sama anduang gue (anduang nenek dalam bahasa Minang), makanya Aci gue minta gue untuk tinggal saja di Padang.

Alasan Aci minta gue tinggal disana, pertama karena saat itu Aci gue belum menikah. Kedua karena anduang sudah terlalu tua, sehingga kehadiran gue nantinya bisa menghibur mereka berdua. Dengan berbagai rayuan akhirnya gue mau juga tinggal di Padang. Pada saat itu, yang hadir dalam benak gue  kalau gue bakalan jauh sama orang tua dan kehidupan gue akan lebih bebas lagi. Selang beberapa bulan gue tinggal di Padang, anduang ninggalin gue yang nakal ini untuk selama-lamanya. Tak lama dari itu Aci menikah dengan seorang pria yang belum sempat dikenalkan ke Anduang.

Merasa kesepian gue minta ke nyokap untuk pindah lagi ke Batam. Namun karena alasan waktu, gue belum bisa meneruskan sekolah di Batam. Sebenarnya sih sebagai warga negara yang tinggal di negara yang serba menuhankan KKN seperti negara kita ini, gue bisa aja nerusin sekolah di Batam. Yang jadi masalah, gue bukan golongan orang yang menuhankan KKN. Alasannya karena keluarga gue bukan berasal dari keluarga berada. Bokap sama nyokap cuman jadi buruh di Batam, mana mungkin gue maksain sekolah di Batam dengan uang sogokan yang gak murah.

Beruntung gue masih punya keluarga yang baik hati seperti pak le’ dan pak de’ gue di Yogya. Mereka mau nanggung biaya hidup gue disana. Gue pun harus merantau lagi selama setahun di tanah keraton. Pasti lo semua pada bingung kenapa gue sampai punya paman di Yogya. Gue tekanin sekali lagi, ini dia misteri hidup yang tak pernah tersangka-sangka. Mereka berdua itu saudara kandung bokap gue. Walaupun asli Betawi, mereka berdua menikah dengan orang Jawa. Sampai lulus SD gue menempuh hidup sendirian yang gak mulus. Susah payah penuh dengan ujian hidup gua lalui, terlebih gue semakin jauh dari kedua orang tua.

Dari kecil gue udah sering merantau. Jakarta, Padang, Yogya dan Batam sudah seperti rumah gue. Di empat kota ini sudah banyak menyimpan ribuan memori hidup yang gak akan pernah gue lupain. Dan selama itu pula gue jarang mendapatkan kasih sayang orang tua langsung. Hanya kiriman uang yang tak begitu banyak yang bisa gue rasain.

Tiga tahun di Batam membuat gue jenuh dengan lika-likunya yang tak pernah usai. Perkataan bokapnya Fitri terus mengiang-ngiang di telinga gue. Mana mungkin gue bisa dapetin Fitri kalau masa depan gue belum jelas seperti ini. Selama ini gue hanya mengikuti arus permainan alam yang terus terombang ambing yang gak pernah mau untuk berontak. Gak pernah sedikitpun terlintas di pikiran gue  perihal masa depan. Hari ini urusan sekarang, esok hari  entahlah besok seperti apa. Gue gak pernah  membuat planning kedepannya. Perantauan gue pun gak pernah gue rencanain, semuanya berjalan sesuai arus waktu yang membawa gue.

Percuma gue nentuin arus hidup kalau pada akhirnya gak pernah gue rasain. Makanya hidup gue gak perlu diarahkan dengan cita-cita. Saat kita tersesat dalam kegelapan ya itulah kita di dalam kegelapan itu, disaat kita di dalam kesenangan yaitulah kita didalam kesenangan itu. Gak pernah keluar untuk mencari atau sekedar merasakan kecerahan di balik kegelapan. Namun pertanyaan bokapnya Fitri seperti telak dalam hidup gue. Gue gak pernah mau nentuin masa depan, tepatnya gue terlalu takut untuk melakukan hal itu. Takut akan mimpi dan cita-cita.

Gue rasa mimpi atau cita cita itu perlu yang namanya modal. Percaya atau enggak, ini doktrin yang gue pikirin sendiri. Seorang anak yang bercita cita menjadi seorang dokter akan terwujud cita citanya jika latar belakang anak itu termasuk orang kaya atau mungkin diantara keluarga si anak itu udah ada yang berhasil menjadi dokter. Tapi kalau latar belakang anak itu terlahir sebagai orang miskin yang perkerjaan kedua orang tuanya sebagai petani serabutan bahkan tak ada seorangpun dalam kelurganya yang berhasil menjadi dokter. Maka anak itu hanya seorang pemimpi belaka! Bagaimana mungkin seorang anak petani miskin bisa menjadi dokter?!

Makanya gue gak pernah memikirkan cita-cita. Karena gue nyadar diri, gue itu bukan berasal dari keluarga yang berada. Gue hanya seorang anak buruh yang gak punya modal untuk bermimpi. Mimpi itu indah bagi mereka yang punya modal dan hanya samar-samar bagi gue yang gak punya modal untuk bermimpi.

Wajar aja kalau Fitri punya mimpi untuk meneruskan kuliah ke ITB. Dia udah mempunyai modal banyak. Peringkat pertama di kelas dan latar belakang ekonomi menengah ke atas sudah cukup bagi dia sebagai modal mimpinya. Yang terpenting dalam hidup gue bukan mimpi, tapi arus hidup yang nyaman tanpa hambatan sebagai apa yang menjadi pengharapan dalam hidup ini. Inilah gue dan ini cara pandang hidup gue di masa SMP!

Bersambung....

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Your Ad Spot