Ibrahim (berbisik-bisik): “Laki-laki itu berkata, ini zalim aku
bukan orang yang lemah aku menginginkan hakku.”
Orang-oraang memandang ke arah Hisymat Agha, dia menghentikan
langkahnya dan mengelilingi seorang laki-laki tinggi yang mengikutinya. Hisymat
Agha menenangkan dengan wajah tersenyum tulus, dia berbicara ke pada laki-laki
itu dengan tenang di letakkan tangannya di atas bahunya. Kemudian dia kembali
berjalan keluar stasiun, menyebrang jalan diikuti oleh istrinya yang gemuk dan
laki-laki tinggi seorang pelancong yang mengendarai mobilnya dan beralih ke
sebelah selatan tepat di depan selat Bosporus.Tiga petualang itu menyusul
Ibrahim dan Ilaudin.
Arif: “Kapal itu sangatlah kecil mengingatkanku kepada kapal feri
yang berlalu lalang antara Pelabuhan Port Said dan Pelabuhan Port Fuad.”
Aliyah: “Kapal feri yang berlalu lalang diantara dua pelabuhan
melewati terusan Suez.”
Amir: “Hal ini benar, pelabuhan Port Said di Afrika dan pelabuhan
Port Fuad di Asia.”
Ilaudin menunjuk ke arah jembatan besi panjang yang berada di
sebelah kanannya sembari berkata: “Ini adalah jembatan terpanjang di dunia dan
satu-satunya jembatan yang menghubungkan antara dua benua.”
Arif (memotong): “Dua benua itu adalah Asia dan Eropa, dari
jembatan itu terlihat lalu lalang kapal-kapal tinggi di bawahnya.”
Ibrahim (tertawa): “Kamu haruslah membayar lima lira Turki atau
setara dengan liam qirsh Mesir, jika ingin melewatinya dengan mobil.”
Ilaudin: “Dan tidak membayar apapun ketika mengelewatinya dengan
berjalan kaki.”
Di sebelah selatan Asia dari pesisir selat Bosporus, mereka memandang
puncak kecil menara Anatolia atau kastil Anatolia yang dibangun oleh Sultan
Bayazid ketika memblokade kota Kontatinopel, ketika dia lengser dari tahtanya.
Di hadapan menara Anatolia di sebelah selatan Eropa berdiri kastil Rumeliahisar
atau menara Rum yang didirikan oleh Sultan Muhammad II di depan benteng
pertahanan Konstatinopel ketika memblokadenya selama tujuh hari. Menyerang
benteng pertahanannya dengan geranat siang dan malam, puncak kemenangan yang di
peroleh setelah perang yang berdarah. Sampai dia mendapat gelar Al-Fatih,
kemudian Konstatinopel berganti nama menjadi Istanbul. Ibrahim menunjuk ke
sebagian istana kesultanan Utsmaniyah yang berdiri di tepi selat Bosporus,
yakni istana Yilzid dan istana Berlerbeyi dan di sebelah selatan terdapat istana
Dhulah Bahgjah di hadapannya taman bunga yang besar berada di tengah-tengahnya.
Vila-vila kayu kuno, masjid-masjid yang memiliki menara yang menjulang tinggi.
Adapun Hisymat Agha telah letih, ia masuk kedalam mobilnya di tengah-tengah
persimpangan selat Bosporus. Seorang laki-laki tinggi acuh tidak mau menjauh
sedikitpun dari pintu mobilnya. Kulitnya memerah seperti di pantai Eropa,
laki-laki tinggi itu membungkuk, menghujani jari-jari tangannya ke arah jendela
mobil. Hisymat Agha memperhatikannya, tiga
petualang itu melihatnya dan dia melambaikan tangannya berpamitan. Sebelum
meninggalkan mobil itu, seorang laki-laki Turki yang tinggi itu mengikutinya
dengan pandangan marah sebelum bergegas
pergi dengan cepat, kemudian dia bertemu dengan bis (otobis).
Mereka mementingkan keberangkatan yang ada di stasiun terdekat,
tiga petualang dan Ibrahim mengucapkan selamat tinggal bagi sahabat kereta
mereka Ilaudin, sebelum mereka meninggalkannya dengan taksi ke masjid Sultan
Ahmad yang terhubung dengan halamannya yang luas, setelah menyebrangi sebuah
jembatan dan naik ke sebuah jalan sempit, sebuah persembahan yang di sertai
dengan rumah-rumah kayu kuno yang di hiasi dan di percantik dengan bagian
ruangan yang menonjol dalam menit pembangunannya.
Ibrahim: “Istanbul berdiri seperti ibukota Roma yakni Italia di
atas tujuh bukit.”
Arif (memotong): “Oman juga seperti itu ibukota Jordan, jika
mengatakannya seperti gunung seperti gunung Omman dan gunung Muhajirin.”
Ibrahim menunjuk sebelah
kanannya, seberang sebuah lapangan ke sekumpulan
kubah-kubah tinggi menjulang dengan enam menara penyangganya dan bersambung
dengan tempat solat yang seberangnya terdapat taman yang hijau berkilau di
tengah-tengahnya terdapat air mancur yang indah.
Ibrahim: “Ini adalah masjid Sultan Ahmad dan biasanya disebut dengan
masjid biru, karena cat interiornya didominasi oleh warna biru.”
Di sebelah kirinya terlihat bangunan kuno dengan halaman panjang,
warnanya kuning limun pucat yang membedakan kubah yang lebar besar dan empat
menaranya dan sekumpulan orang berhenti di pintunya, mereka mengelilingi
sejumlah pedagang sovenir.
Ibrahim: “Mereka berjulan sampai ke banguan kuno (Aya Sophia) yang
duluanya adalah sebuah gereja tempat perlindungan penduduk Konstatinopel dan
jaminannya, ketika ditakhlukkan oleh Sultan Ustmani Muhammad II. Mereka
menegaskan bahwasannya itu tempat perlindungan mereka, ketika Sultan
menakhlukkannya pintu gerbang yang terkunci di buka, dia meminta ke pada Rohib
untuk melanjutkan salatnya tanpa rasa takut, kemudian dia memerintahkan untuk
melanjutkan salatnya di rumah masing-masing, dan mereka melaksanakannya dengan
sepenuh hati. Sultan meminta salah satu muazin naik ke atas mimbar untuk
mengumandangkan azan salat setelah sujud syukur atas kebesaran-Nya.
Arif (memotong): “Aku pernah membaca tentang ayahnya(Murad II) telah
lama memblokade kota tapi tidak mungkin untuk ditakhlukkan.”
Aliyah: “Penakhlukannya merupakan harapan besar yang sudah dari dulu, dan yang pertama
memblokade dari wilayah Arab adalah Umawiyah bin Abi Sufyan, mati syahidlah
seorang sahabat nabi yang mulia yakni Abu Ayub Al-Ansari ketika penyerangannya.”
Ibrahim: “Di Istanbul sendiri ada masjid yang menggunakan namanya.”
Amir: “Gereja Aya Shopia beralih menjadi sebuah masjid.”
Ibrahim: “Tentu saja, disediakan mimbar, membangun menara masjid,
menghapus gambar-gambar berwarna, dinding-dindingnya di cat dengan lapisan cat
warna putih kapur.”
Aliyah: “Apakah masjisdnya masih ada?”
No comments:
Post a Comment