Pasar atap atau Qabli Bazar namanya, pasar kuno yang terkenal yang
terdiri dari sekumpulan lapak kecil yang terhitung jumlahnya mungkin lebih dari
empat ribu lapak, yang di tutup dengan satu atap dengan pintu-pintu sempit.
Berhenti ketika penjaga dari kepolisian lalu lintas mulai keras untuk
menutupnya ketika matahari terbenam, setelah itu meniggalkannya perlahan begitu
pula dengan pemilik lapak.
Tiga petualang mengelilingi lapak permadani Turki yang terkenal
mewah dengan berbagai macam hiasannya yang kemerlap dan berbeda-beda.Kesan
kekaguman para petualang yang di perlihatkan kepada pusat oleh-oleh jam tangan
dari kulit, kotak kuningan yang diukir dan potongan katapel yang dihias ukiran
disetiap lubangnya ada stempel khas Timur yang orisinal, selain itu ada
barang-barang tenun bordiran bahannya dari kapas dan rami. Aliyah menunjuk
pakaian dari rami yang lembut, ringan yang dihias bordiran dengan benang
warna-warni. Menyerupai salah satu bunga yang terikat dengan tanaman yang ada
di taman dengan dedaunan hijau segar yang menggantung. Harga pakaian itu murah,
dibandingkan dengan rasa kekagumannya membuat para petualang tercengang. Belum
selesai berbelanja apa yan diinginkan Amir mengingatkan tujuan awal dari
kunjungan ke pasar:”Dimana lapak miliki Hisymat Agha?”
Ibrahim: “Kita sedang di perjalanan menuju ke sana, di jalan khusus
tempat lapak barang berharga dan perhiasan.” Terlihat di hadapan mereka etalase
kaca yang keseluruhannya dilapisi timah, terlihat indah dengan bentuk yang
berbeda-beda dan ditutup dengan potongan sutra berwarna kemerah-merahan dan
kebiru-biruan seperempat dari isi kotak ditutupi oleh kain sutra. Di atas
tempat duduknya ada kain sutra warna putih.Isinya perhiasan emas putih dan
kuning, mendali dengan batu mulia dan berharga pirus biru, batu rubi merah, zamrud
hijau, intah putih murni dan emas bersinar yang terlihat seperti air liur
walet.
Aliyah berbisik waspada: “Jangan merusak sisi sebelah kanan.”
Amir: “Kenapa?” sambil berbisik.
Aliyah (tertawa):” Perintahnya tidak mengajak untuk berbisik-bisik
tapi untuk waspada, agar tidak diperhatikan Muhran yang berdiri di belakang tiang yang menghadap lapak Hisymat Agha.”
Tiga petualang dan Ibrahim masuk kedalam lapak besar, memencet bel
lembut ketika membuka pintu kaca yang terkunci, seketika itu juga mereka rasakan
udara yang menusuk dari pendingin udara
dan mereka menenggelamkan kaki mereka ke dalam pemadani mewah. Pemandangan
mereka menyebar ke arah kanan dan kiri, menyelami keagungan dan pesona harta
benda yang diperlihatkan.
Seorang perempuan anggun menemui mereka dan menyambut mereka halus
dengan bahasa Perancis: “Kalian orang Arab! Kemudian berpaling ke sudut lain
ruangan dan berbicara dengan lengkap dia menunjuk sudut tempat duduk Hisymat
Agha, duduk di depan meja sembari berkata: “Tuan ada orang Arab.”
Hisymat Agha berdiri dari
tempat duduknya menyambut ketika mereka mendekati mejanya, dia meregangkan
tangannya di atas kotak permen elegan yang diletakkan di atas meja di samping
vas bunga dan mushaf mulia yang sampulnya dari kertas karton biru dan dihiasi ukiran
dengan warna emas. Hisymat Agha menarik tangannya dari kotak perhiasan yang
terbuka dan tidak lupa untuk menutupnya kemudian kembali ke tempatnya lagi dia
memandang penuh pemeriksaan kepada mereka: “Aku yakin bahwa aku sudah pernah
melihat kalian.”
Aliyah: “memang wajah-wajahnya mirip.”
Hisymat menggosok matanya: “Tidak.. tidak, aku ingat dan jangan
menipuku, tapi dimana aku melihat kalian? Dimana?”
Tiba-tiba dia menggangguk-anggukkan kepala dan menggoyangkannya
perlahan: “Oh... aku sekarang ingat, kereta api....stasiun Haidar Pasha!”
Tiga petualang itu tidak ada alasan untuk menginggkari, Amir: “Kami
sampai di Istanbul dengan kereta pagi.”
Hisymat Agha: “Stasiun Haidar Pasha aku ingat dan jangan menipuku,”
ujarnya memotong. Dia kembali mencermati dari sudut lain dengan pandangan
meneliti kemudian: “Apa yang kalian inginkan?! Aku pikir kalian tidak mampu
membeli sesuatu dari lapak ini!” Ujarnya sinis.
Aliyah tertawa: “Aku tidak mengira ketidak kuasaan membeli, tidak
memperbolehkan kesepakatan atas menikmati dengan meilhat-lihat lapak sebagai
persembahan yang bagus.”
Hisymat Agha kembali ke bangkunya setelah melontarkan kalimat
pendek ke pada pramuniaga anggun yang tangannya sedang menunjuk ke arah
perhiasan yang diperlihatkan dan pramuniaga itu berkata dengan bahasa Perancis
dengan nada dingin: “Kita tidak bisa menentang.”
Ibrahim tersenyum dan berbisik pelan: “Kurang beradab!” Aliyah
menimpali sambil berbisik: “Kurang cerdas sedikit.”
Akan tetapi Ibrahim berpaling ke arahnya dan berkata dengan suara
lembut: “Hisymat Agha berkata kepadanya dengan bahasa Turki yang mantap.”
Tiga petualang tertawa dan melepaskan ketakjuban mereka tehadap
kemewahan yang diperlihatkan. Telpon berbunyi, Hisymat Agha memandangnya
kemudian mengangkatnya dan bercakap-cakap dengan bahasa Turki kemudian dengan
bahasa Inggris sedikit: “Dengan siapa? “Kemudian terdiam lama. Tiga petualang
melihatnya mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya, mukanya menunduk dan memerah.
Hisymat Agha meninggalkan bangkunya setelah menerima telfon dan mengembalikan
ke tempat asalnya. Kemudian bergegas keluar dengan langkah yang terburu-buru
dan pramuniaga menyusul setelah itu akan tetapi dia tidak menggubrisnya dan
meninggalkannya diikuti dengan tatapan takjub dari pramuniaga itu.
No comments:
Post a Comment